Swarasultra.com, Kendari - Di tengah maraknya praktek penebangan liar, sekelompok masyarakat di Sulawesi Tenggara berhasil mengelola hutan mereka secara adil dan lestari. Mereka bergabung dalam koperasi Hutan Jaya Lestari. Koperasi ini mengeluarkan sertifikat pada tiap kayu yang akan dijual ke pasar nasional bahkan internasional. Ini artinya setiap balok kayu hasil tebangan beridentitas jelas dan lengkap. Bagaimana proses sertifikasi yang bisa mengurangi potensi peredaran kayu tebangan liar itu?Foto : Ilustrasi
Koperasi Hutan Jaya Lestari
Desa Lambakara, Kecamatan Lainea, Kabupaten Konawe Selatan berjarak 75 km dari Kendari, ibukota propinsi Sulawesi Tenggara. Untuk menuju ke desa itu diperlukan waktu sekitar dua jam. Sebagian besar masyarakat desa ini memiliki dua hingga tiga hektar lahan yang ditanami jati. Inilah desa yang dikenal dunia internasional karena sertifikasi kayu.
Koperasi hutan Jaya Lestari mengeluarkan sertifikat kayu milik anggotanya. Inilah koperasi pertama di Indonesia yang memperoleh sertifikat kayu dari Smart Wood, sebuah organisasi dunia yang peduli pada pengelolaan hutan secara lestari.
Tebang Satu, Tanam Sepuluh
Sertifikat diberikan koperasi pada kayu milik masyarakat kalau memenuhi persyaratan. Syarat inilah yang menjadikan koperasi dan masyarakat berperan dalam melestarikan hutan. Menurut Abdul Maal, wakil ketua koperasi, syaratnya antara lain tebang satu, tanam 10. Selain itu, kayu tebangan juga mesti berdiameter 30 sentimeter. Koperasi tak akan membeli kayu masyarakat yang tidak memenuhi syarat-syarat tadi.
Abdul Maal: Kemudian kepastian kepemilikan tegakan, kepastian perlindungan satwa. Sebelum kami melakukan kegiatan penebangan ada pernyataan di anggota tidak boleh tebang habis, boleh melihat admisnistrasi, memperhatikan perlindungan satwa.
Koperasi hutan Jaya Lestari berdiri tiga tahun lalu seiring program hutan kemasyarakatan. Abdul Maal mengatakan bahwa saat ini anggota koperasi hampir mencapai 300 orang, dari 40an kelompok di 12 desa pada empat kecamatan. Mereka mengolah kayu pada tanah milik masyarakat dengan lahan olahan hampir 40 hektar.
Upaya pelestarian hutan yang dilakukan koperasi hutan Jaya Lestari melibatkan semua unsur masyarakat, termasuk kaum perempuan. Kelompok perempuan Poasu misalnya dilibatkan dalam program pembenihan jati.
Tanti, ketua Kelompok Perempuan Poasu: Sayuran seperti terung, kacang, itu diberikan untuk masyarakat, tapi untuk ibu-ibu di sini diberikan, itu bibit.
Kapok Penebangan Liar
Koperasi hutan Jaya Lestari merupakan pelajaran bagi para pelaku penebangan liar, seperti Warman Syahmadi. Ia mengaku kapok melakukan pembalakan liar. Selain tidak menguntungkan, ia juga harus terus kucing-kucingan dengan petugas. Jika kedapatan mengangkut kayu illegal, ia terpaksa merogoh koceknya hingga ratusan ribu rupiah bahkan hingga satu juta rupiah untuk sekian banyak pos keamanan.
Warman Syahmadi: Tiga tahun itu terus terang tidak ada manfaatnya. Jadi illegal logging itu begini, hari ini untung 500 ribu besok kolaps. Illegal logging itu transaksi dengan petugas kalau dicegat, petugas nanya kita jawab tidak ada surat, jalan damainya ya duit, ada kelas 200 ribu, kalau parah kayu empat kubik bisa satu juta. Pokoknya setiap petugas yang ada sangkut pautnya, polsus, kepolisian yang paling dominan kepolisian.
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat seperti yang dilakukan sebagian warga Konawe melalui koperasi, menjadi setitik harapan untuk mengurangi praktek pembalakan liar.
Fitrian Ardiansyah, Koordinator Program Pelestarian Hutan LSM Lingkungan WWF: Fenomena koperasi berbasis kemasyarakatan yang ada di Konawe cukup unik memang, karena memang masyarakat diberikan kewenangan, diberi kepercayaan mengelola berbasis adat dan kebiasaan mereka, hasilnya lebih baik. Mereka dapat sertifikasi itu dari smartwood ada, karena ada beberapa kriteria sehingga tak seenaknya menebang kayu.
Fitrian menambahkan, melalui koperasi, masyarakat mesti memegang teguh prinsip pengelolaan hutan secara lestari dan pemerintah mendukungnya. Jika tidak, semua upaya pelestarian hutan akan percuma karena di beberapa tempat, koperasi juga disalahgunakan.
Sampai saat ini, kayu yang telah diproduksi koperasi hutan Jaya Lestari dari anggotanya, baru mencapai sekitar 180 meter kubik atau sembilan kontainer dengan 18 ton per kontainernya. Kayunya dikirim k e luar negeri, misalnya ke negara-negara Eropa, tapi juga ke Jawa. Dari penjualan itu, mereka menyumbang PAD sebesar Rp. 125 juta.
Sebelum ada koperasi, kayu dihargai Rp. 300 ribu hingga Rp. 400 ribu per kubiknya, tapi setelah mendapat sertifikat, harga kayu meningkat sampai Rp 1 hingga Rp. 2 juta per-kubik. Ke depan, koperasi berencana menjual kayu dalam bentuk mebel, supaya bisa memperolah nilai tambah.
Usaha koperasi hutan Jaya Lestari tak selamanya mulus. Maraknya penertiban usaha kayu berimbas ke koperasi. April lalu misalnya, Kepolisian Sulawesi Utara menahan kayu jati yang akan dikirim ke Jawa Tengah. Menurut polisi, ada tanda-tanda dokumen yang dilanggar saat pengangkutan.
Tapi bagi Haris Tamburaka, ketua koperasi hutan Jaya Lestari, akibat penahan kayu tersebut pihaknya merugi sekitar Rp. 70 juta. Padahal, koperasi hutan Jaya Lestari telah memenuhi persyaratan surat keterangan sahnya hasil hutan.
Haris Tamburaka: Tapi itu hari kan kita minta kalau memang kayu ini ilegal ya tolong kita lihat dulu di lapangan, bagaimana cara pengelolaannya. Karena kita kan sudah mendapat sertifikat bertaraf internasional. Kalau sudah tahu semua perjalanan koperasi itu, kita minta kapolda memberikan pembinaan sebagai pengayom masyarakat. Kenapa smartwood memberikan setifikat bahwa ini benar, kenapa kapolda tak mau mengerti ini sertifikat?
Harus diakui, program hutan kemasyarakatan belum bisa diterapkan sepenuhnya. Abdul Khalik, direktur LSM Jaringan untuk Hutan Sulawesi Tenggara, yang selama ini mendampingi koperasi hutan Jaya Lestari, mengatakan, selama ini program itu masih terbatas pada kebun milik warga setempat. Padahal, program tersebut mestinya melibatkan masyarakat pengelolaan hutan di lahan negara.
Abdul Khalik: Kalau hutan eks reboisasi yang nantinya bakal dikelola koperasi hutan Jaya Lestari melalui social forestry yang sampai saat ini belum datang ijin dari menteri, kerusakannya menurut kami 60-70 persen dari potensi yang ada, dari 38 ribu jati 30 hektar, di Gunung Puti dan Kolono, hancur. Eks reboisasi itu sudah tidak ada lagi, sudah dihancurkan.
Sertifikasi vs Penebangan Liar
Koperasi hutan Jaya Lestari masih menunggu izin Menteri Kehutanan untuk mengelola hutan negara seluas 38 hektar. Alhasil, sertifikasi kayu koperasi masyarakat Konawe masih tetap harus berpacu dengan aksi penebangan liar.
Saat ini kerusakan hutan di Konawe Selatan kian parah. LSM Jaringan untuk Hutan mencatat, puluhan kubik kayu setiap harinya keluar daerah ini, baik dengan surat lengkap maupun tidak. Diduga, pelakunya berasal dari Kendari dan Surabaya. Mereka bisa leluasa keluar masuk mengangkut kayu illegal, karena dikawal aparat keamanan. Seperti aparat polisi, TNI dan juga aparat kehutanan.
Akibatnya, menurut ia, hanya segelintir orang yang menikmati hasilnya, sedangkan masyarakat Konawe Selatan harus menanggung dampak kehilangan hutan, misalnya banjir di musim hujan dan debu atau lahan kering bila musim kemarau datang.
Butuh Tambahan Personil dan Dana
Muhamad Yamin Renggaala dari Dinas Kehutanan Konawe Selatan mengaku kesulitan memberantas aksi pembalakan liar. Alasannya, kekurangan personil dan minimnya dana. Ditambah lagi belum adanya konsitensi aparat penegak hukum. Ia mengaku, dari 200 ribu hektar kawasan hutan di Konawe Selatan, tercacat 30% telah rusak.
Muhamad Yamin Renggaala: Untuk di lapangan polhut hanya 22 orang penyuluh lapangan tinggal sembilan orang. Ini sangat tidak berimbang antara luas lapangan dengan aparat yang bertugas di lapangan. Sangat berharap tenaga polhut dan penyuluh lapangan. Supaya ada kuota khususnya tenaga penyuluh dan polhut itu.
Tahun lalu, pemerintah Kabupaten Konawe Selatan menargetkan pendapatan sektor kehutanan mencapai Rp. 2 milyar. Target itu diharapkan datang dari retribusi dokumen kayu dan non kayu. Seperti: Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan atau SKSHH, Izin Pengelolaan Kayu Tanah Milik atau IPKTM dan rotan.
Hutan di Sulawesi Tenggara mencapai sekitar 2,6 juta hektar, jelas tak seluas Sumatera, Kalimantan dan Papua. Namun, upaya pelestarian hutan Sulawesi tak perlu menanti keberhasilan daerah lain yang berhutan luas itu. (qq)
Sertifikasi Kayu untuk Lestarikan Hutan Sulawesi

Komentar
